Krisis Akhlak
BERADA di tengah hiruk-pikuk tahun politik 2024 pasca pileg, pilpres dan menjelang pilkada serentak 2024, membuat kita terasa gamang. Siapa pun yang menjaga akal sehat alias akal budinya, sedikit saja, pasti paham, bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Bangsa kita sedang dilanda krisis akhlak dan krisis moral hebat hampir mirip seperti zaman jahiliyah yang dialami masyarakat Arab Suku Quraisy di zaman kenabian empat belas abad silam.
Barangkali itu terlalu ekstrim. Tapi lihatlah absurditas dan banalitas lingkungan sosial masyarakat. Kekuasaan negara, seperti disebut Hannah Arendt (dalam Rieke Diah Pitaloka, 2010) diciptakan bukan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, tapi untuk mengendalikan kehendak individu. Kemajemukan manusia diarahkan untuk menjadi individu tunggal. Akibatnya warga negara kehilangan kemampuan berpikir dan menilai kritis. Pembiasaan kejahatan sengaja dibentuk oleh kekuasaan. Pada akhirnya bahkan tanpa paksaan, masyarakat bersedia melakukan berbagai aksi kekerasan yang mengarah pada kejahatan. Tidak ada lagi rasa bersalah, tidak ada penyesalan, tidak ada lagi beban untuk bertanggungjawab ketika melakukan kejahatan, kejahatan dianggap menjadi hal yang wajar. Homo homini lupus, kata filsuf Thomas Hobbes, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Wujudnya? Ada kebebasan tanpa batas, ada keterbukaan tak bertepi, ada fenomena media yang sangat perkasa, semuanya menjadi habitat yang sangat sesuai bagi manusia-manusia tertentu untuk merdeka berbuat apa saja, bahkan berbuat kejahatan sekali pun, termasuklah misalnya, dalam kehidupan bernegara, menginterpretasi konstitusi sesuka hati. Atau, ada janji, janji diingkari; ada sumpah, sumpah dilanggar; ada amanah, amanah dikhianati; ada kewenangan, kewenangan dilampaui; ada kekuasaan, kekuasaan disalahgunakan. Kejujuran hanyut entah kemana, etika moral hilang di tengah rimba belantara dimangsa buasnya kekuasaan.
Keadaan seperti itu dibentuk dan dikehendaki oleh kelompok-kelompok yang kehilangan akal budi atau tidak mampu menggunakan akal budinya sebagai instrumen yang inheren dalam diri manusia untuk mengendalikan kebebasan tak terbatas yang diberikan Sang Pencipta. Masyarakat kita tak ubahnya seperti orang-orang di zaman jahiliyah itu, terperangkap dalam kebodohan, tidak mampu menggunakan akal atau pikirannya secara kritis. Fenomena seperti itulah yang terbaca dalam masyarakat kita sekarang. Kezaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong, menipu, berbuat curang, kemunafikan, semua merajalela.
Padahal sesungguhnya, secara umum individu dalam masyarakat kita tak bodoh-bodoh amat. Kita memiliki banyak orang-orang pintar sekolahan yang tak diragukan kepakaran akademisnya. Kita memiliki banyak intelektual dengan kecerdasan terpuji. Kita memiliki banyak ulama yang mampu memberi tausyiah memukau. Kita juga memiliki banyak ahli hukum yang mampu berdebat nonstop tujuh hari tujuh malam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita bahkan juga memiliki banyak perwira tinggi berbintang-bintang yang dalam setiap tarikan nafasnya rela mati berkorban membela marwah dirinya dan bangsanya. Kurang apa?
Semua kompleksitas dan ambiguitas itu memperkuat asumsi, bahwa bangsa kita saat ini tengah dilanda permasalahan yang sangat serius: krisis akhlak dan krisis moral; dan sayangnya, kebanyakan kita tidak menyadarinya karena terbius eforia kebebasan yang kebablasan. Penyebab kemerosotan parah itu adalah orientasi yang terlalu berlebihan terhadap harta dan kekuasaan, dan tak kalah pentingnya, bahkan menjadi variabel yang sangat penting, adalah krisis keteladanan dari para pemimpin. Kearifan budaya Melayu telah menjadi memori kolektif kita, “bila pemimpin tak tahu diri, umat binasa rusaklah negeri.”
Keberadaan pemimpin yang berakhlak mulia dan menjunjung tinggi etika moral merupakan solusi terhadap krisis akhlak yang melanda sebuah negeri. Nabi Muhammad SAW memberi teladan bagaimana kehadirannya menjadi solusi bagi masyarakat jahiliyah di Arab. Nabi Muhammad juga yang menyatukan kemajemukan etnis di Kota Madinah dengan menyusun Piagam Madinah, konstitusi pertama di dunia. Semua diselesaikan dengan gemilang oleh Nabi Muhammad melalui kepemimpinan yang kuat dengan menggunakan pendekatan menyeluruh (comprehensive), dapat diterima semua pihak (acceptable), dan teruji (proven).
Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, membawa risalah Islam dan untuk memperbaiki aqidah dan akhlak umat manusia melalui sifat kepemimpinan yang amanah (jujur dan bertanggungjawab), sidik (lurus), tabliq (komunikatif) dan fatonah (cerdas). Karena itulah sangat wajar bila penulis barat Michael H. Hart dalam bukunya, “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” (Edisi Revisi, 1992), menempatkan Nabi Muhammad SAW dalam urutan pertama diantara seratus tokoh yang paling berpengaruh sepanjang sejarah.
Nilai-nilai kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sangat relevan untuk dihayati dan diamalkan dalam momentum peringatan Maulid Nabi tahun ini, ketika kita berhadapan dengan krisis akhlak yang melanda. Nilai-nilai kepemimpinan Nabi kontekstual pula bila dikaitkan dengan agenda pilkada serentak yang tinggal dua bulan ke depan. Kita akan memilih pemimpin yang diharapkan bisa menyejahterakan, menegakkan kebenaran dan keadilan serta menjadi teladan kemuliaan akhlak di tengah masyarakat. Maka, pilihlah pemimpin yang berakhlak mulia, cermati jejak digital sang calon, semua kelakuan baik-buruk sang calon tersimpan datanya di awan. Bila tidak, maka bersiaplah kita memasuki zaman jahiliyah modern, dan kita akan menyesal seumur hidup. Wallahu a’lam bishawab.**