Sahabat Tak Terlihat

Sahabat Tak Terlihat

Oleh Chaidir

PUJANGGA Mesir peraih Nobel Sastra 1988, menyebut, “takdir (nasib) adalah sahabat yang tak terlihat”. Ungkapan ini mengandung makna filosofis yang dalam. Secara transendental, ungkapan Naguib Mahfouz itu adalah sesuatu yang melampaui pengalaman biasa, abstrak, sarat niliai spiritual, dan di luar jangkauan indra dan akal. Sebab dalam sudut pandang biasa, sahabat itu adalah orang terdekat dalam kehidupan kita, tempat curhat dalam suka dan duka, saling pandang, menangis bersama atau tertawa bersama. 

Tapi ternyata manusia memiliki sahabat dalam  suka dan duka yang tak terlihat, bernama nasib atau takdir. Bukankah keyakinan kita sebagai umat beragama telah memahami dan menghayati, bahwa keseluruhan perjalanan hidup manusia, kelahiran, kematian, rezeki, jodoh, karir, sudah tertulis dalam “buku takdir”? Sayangnya manusia tak pernah bisa melihat atau membaca buku tersebut, bahkan bocorannya tak pernah bisa dan tak akan pernah bisa kita peroleh, satu kata pun. Tak ada peluang sedikit pun untuk kongkalikong guna mendapatkan bocoran buku itu. Yang bisa mengubah buku takdir itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, Sang Pencipta buku takdir itu.

Mahfouz melihat nasib bukan sekadar kekuatan misterius yang menentukan hidup manusia, melainkan sesuatu yang menyertai dan membimbing kita diam-diam. Sahabat kita itu tak pernah menampakkan diri, tapi selalu hadir dalam setiap langkah kita, selalu ada tangan tak terlihat yang mengarahkan jalan cerita. Sahabat yang tak terlihat itu tidak memusuhi manusia, melainkan kadang menuntun melalui peristiwa-peristiwa yang tampak kebetulan, meski baru disadari maknanya kemudian.

Dalam sudut pandang transendental seperti pandangan terhadap sahabat tak terlihat yang bernama nasib itu, sesungguhnya ada sahabat lain yang juga tak terlihat pada awalnya, yakni apa yang sering kita dengar sebagai hikmah atau berkah. Disebut tak terlihat pada awalnya, karena seringkali setelah beberapa lama, baru terlihat atau disadari, bahwa itu adalah hikmah atau berkah dari suatu peristiwa. Ulama menyebut hikmah itu adalah kebaikan yang tercecer, adakalanya ditemukan adakalanya tak ditemukan. Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan bahwa, himah adalah milik kaum mukmin yang hilang, maka di mana pun kaum mukmin menemukannya, ia lebih berhak memungutnya.

Orang Inggris bilang, hikmah itu "blessing in disguise", sebuah ungkapan yang berarti berkah tersembunyi, yaitu suatu kejadian yang awalnya tampak buruk, menyusahkan, atau merupakan kemalangan yang menyedihkan, namun ternyata pada akhirnya membawa manfaat atau keuntungan yang tidak terduga. Frasa ini menyiratkan bahwa di balik kesusahan atau kesialan yang menimpa, terdapat hikmah atau berkah yang baru terlihat kemudian. 

Dalam Catatan Penyunting sebuah buku yang ditulis oleh M Amin Akkas dan Hasan M. Noer atas buku “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern” yang ditulis oleh Dr Nurcholis Madjid, et al (2000), dikutip sebuah kisah tentang makna hikmah. Alkisah dua sahabat (seorang berkebangsaan Pakistan dan seorang lainnya berkebangsaan Inggris) berangkat dari Karachi ke London dengan pesawat yang berangkat subuh. Mereka harus ke bandara dalam waktu yang sangat terbatas. Apa hendak dikata, di tengah jalan salah satu ban mobil mereka meletus, kemudian Si Pakistan berhenti pula sebentar untuk menunaikan sholat Subuh, sehabis sholat dengan tulus ia berdoa, Engkau Maha Penguasa ya Allah, lindungi kami ya Allah. Si Inggris bersungut-sungut karena sangat khawatir ketinggalan pesawat. Sesampainya di bandara Karachi, apa yang dikhawatirkan terjadi, mereka ketinggalan pesawat.     

Dalam keadaan marah, dongkol, Si Inggris ngomel, “dimana kekuasaan Tuhanmu, apakah Tuhanmu menolong kita? Apakah Tuhanmu mampu menyelamatkan negosiasi bisnis yang akan kita buat di London? Tuhan tidak pernah ikut campur dalam urusan duniamu, Bung. Anda harus profesional.” Si Pakistan hanya bisa tertunduk murung. Kemudian sambil meratapi nasib mereka kembali ke hotel. Negosiasi bisnis batal.

Sesampai di hotel, Si Inggris langsung melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, sementara Si Pakistan terduduk lemas di pojok ruangan. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Lewat radio yang terpasang di setap sudut ruangan, warta berita pagi itu mengabarkan bahwa, pesawat terbang yang seharus mereka tumpangi menuju London meledak di udara sepuluh menit setelah lepas landas. Si Pakistan langsung sujud syukur, Si Inggris ternganga pucat pasi.

Moral cerita ini, lepas dari apakah kisah nyata atau cuma dongeng sufi – sering dikutip dengan versi yang beragam – menggambarkan dua hal yang selalu menjadi problem psikologis manusia, yaitu rahasia takdir berhadapan dengan ikhtiar manusia. Berdo’a adalah ikhtiar yang dapat dilakukan manusia berhadapan dengan takdir yang tak terbaca.   

Dalam pekan ini Riau Negeri Melayu Lancang Kuning diselimuti awan mendung hitam yang menyesakkan jiwa. Angkasa yang tertutup asap akibat kebakaran hutan dan lahan, bisa diatasi dengan menggunakan masker, atau mengobati pernafasan yang terasa sesak dengan pertolongan dokter, tapi awan kelam yang menyesakkan jiwa; kemanakah obat hendak dicari? Sebab jiwa itu sendiri adalah konsep abstrak dalam diri manusia. Kita juga tidak bisa menduga apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran buku takdir; berkah terselubung apa yang ada di balik peristiwa; entah kebaikan tercecer seperti apa yang akan kita temukan, itu rahasia Sang Pencipta.  

Menarik apa yang ditulis Nurcholish Madjid dalam bukunya “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, 2000, bahwa ketika manusia dihadapkan pada situasi hampa nyaris tanpa harapan, barulah ia ingin selalu dekat dengan Tuhan. Memang demikianlah agama menganjurkan. Dalam situasi tertekan penuh gejolak psikologis, manusia diajak memperbanyak ibadah untuk melakukan perenungan bathin.***